if only you are not an indonesian ...

Monday, October 22, 2018

Mencari Jejak Leluhur Episode 4 : BUKITTINGGI

BERKUNJUNG KE RUMAH MASA KECIL BUNG HATTA

salahsatu proklamator kita, lahir dan menghabiskan sebagian masa kecil di kota Bukittinggi. begitu melihat rumahnya, saya langsung jatuh cinta. seandainya saya bisa membelinya atau membuat replikanya di tempat lain. meskipun rumah yang kami kunjungi ini bukan rumah asli, sepertinya soulnya masih sama. atau saya yang baperan ya. rumahnya terletak di tepi jalan raya. 







seperti tertera, sebenarnya tidak dipungut bayaran. tetapi penjaganya meminta sumbangan seikhlasnya seraya menyerahkan buku tamu untuk diisi. dipikir pikir ya sudah diikhlasin saja. semoga kelak kami juga memiliki rumah bersejarah sendiri tentang cinta dam keluarga kami sendiri. 
teras rumahnya cantik bersahaja dan mengundang siapa saja untuk berkunjung. kalau pada masa itu, keluarga bung Hatta sudah menempati rumah seperti ini, dengan arsitektur dan interior seperti ini, tentunya keluarga beliau adalah keluarga terpandang baik secara sosial maupun ekonomi. sungguh layak kalau di kemudian hari, salahsatu anggota keluarga ini menjadi proklamator Indonesia. 
 dulu pemandangan di depan rumah ini tentunya lebih tenang dan menyejukkan ya. tidak seperti sekarang karena jumlah penduduk dan kendaraan meningkat.
 kami mengisi buku tamu di teras depan ini. buku tamu kotak kotak yang ada diatas meja itu. bapak dan ibu yang ada di teras itu pun menyambut kami dengan ramah. mempersilaka  kami masuk untuk melihat lihat setelah kami melepaskan alas kaki di luar.
 ini meja tulis bung Hatta di kamar depan atau paviliun rumah ini. jendelanya menghadap ke jalan atau ke halaman depan. memiliki pintu terpisah dengan rumah utama.
 perabotan dan seluruh rumah terpelihara dengan baik. terlihat bersih dan rapi.
 sprei putih dengan renda mengingatkan saya pada tempat tidur nenek saya puluhan tahun yang lalu. sayang sekali saya dulu tidak terpikir untuk meminta barang sehelai. sekarang sudah habis tidak berjejak.
 tanaman hias dan ikan pun dipelihara dengan baik. benar benar rumah yang cantik dan terawat.
 saya suka dengan ruang makan dibawah tangga ini. kelihatannya hangat. tempat piring dari kayu di pojok dekat jendela.
 ini adalah halaman dalam. ruang terbuka diantara lumbung, rumah utama, dan dapur.

Rumah Kelahiran Bung Hatta terletak di Jalan Soekarno-Hatta No.37, Bukittinggi, Sumatera Barat. Rumah ini adalah tempat Bung Hatta dilahirkan dan menghabiskan masa kecilnya sampi berusia 11 tahun. Bung Hatta melanjutkan pendidikan menengahnya di Meer Uitgebred Lager Onderwijs (MULO) atau sekolah menengah di kota Padang.
Rumah yang didirikan sekitar tahun 1860-an dan menggunakan struktur kayu ini terdiri dari bangunan utama, pavilion, lumbung padi, dapur dan kandang kuda serta kolam ikan. Bangunan utama berfungsi untuk menerima tamu, ruang makan keluarga, dan kamar ibu, paman, dan kakek Bung Hatta sedangkan pavilion berfungsi sebagai kamar tidur Bung Hatta.
Rumah asli tempat Bung Hatta dilahirkan sudah runtuh di tahun 1960-an, tetapi atas gagasan Ketua Yayasan Pendidikan Bung Hatta, maka rumah tersebut dibangun ulang sebagai upaya mengenang dan memperoleh gambaran masa kecil sang proklamator di kota Bukittinggi. Penelitian pembangunana ulang dimulai dari bulan November 1994 dan dimulai pada tanggal 15 Januari 1995. Rumah ini diresmikan pada tanggal 12 Agustus 1995, bertepatan dengan hari lahir Bung Hatta sekaligus dalam rangka merayakan 50 tahun Indonesia Merdeka.
Rumah ini dibangun mengikuti bentuk aslinya yang dapat dilihat di memoir Bung Hatta dan berbagai foto/dokumentasi milik keluarga Bung Hatta. Sebagian besar perabotan di dalam rumah masih asli dari peninggalan masa kecil Bung Hatta yang diperoleh dari keluarga dan kerabat beliau, begitupun tata letak perabotan tersebut masih dipertahankan di tempat asalnya.
Bung Hatta yang merupakan wakil presiden RI pertama juga merupakan bagian dari delegasi Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Bung Hatta adalah orang pertama yang menjabarkan politik luar negeri yang bebas dan aktif, yang menjadi landasan polugri Indonesia sampai saat ini.
Beliau dilahirkan pada tanggal 12 Agustus 1902 dari pasangan H. Muhammad Djamil dan Saleha dan merupakan keturunan kedua dari Syech Adurrachman yang dikenal pula sebagai Syech Batuhampar. Bung Hatta tinggal di rumah ini dari tahun 1902-1913, waktu yang meskipun relatif singkat namun memberikan kenangan mendalam dan pengaruh yang besar dalam pembentukan karakter beliau. Disiplin kerja, ketepatan waktu, kesederhanaan dan kasih sayang yang beliau lihat dan contoh dari kakeknya, H. Marah atau Pak Gaek, bermula dari rumah ini. Pak Gaek yang merupakan kontraktor pos partikelir bekerja dengan ketelitian, disiplin, organisasi yang baik,  dan tepat waktu dalam menyiapkan segala kebutuhan pengiriman memberikan kesan yang berbekas di pikiran Bung Hatta.
Bung Hatta menimba pendidikan sekolah dasarnya di Europese Lageree School (ELS) Bukittinggi, melanjutkannya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), SMP 1 Padang saat ini, dan Prins Hendrik School (PHS) di Batavia. Beliau melanjtukan pendidikan di Handels Hooge School- sekolah dagang di Rotterdam, Belanda dari tahun 1921-1932.
Bung Hatta dikenal sebagai aktivis dan pejuang sejak masa sekolahnya, dimana beliau bersama teman-temannya mendirikan Jong Sumateranen Bond baik di Padang maupun Batavia, Perhimpunan Indonesia di Belanda, dan Pendidikan Nasianal Indonesia (PNI Baru). Beliau mengalami masa pembuangan di Digul, Bandaneira, dan Bangka.
Bung Hatta menjadi proklamator kemerdekaan RI bersama Soekarno, keduanya menjadi presiden dan wakil presiden RI yang dalam masa kepemimpinannya terjadi perundingan Linggadjati, Renville, Roem-Royen dan akhrinya Bung Hatta mewakili RI dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag Belanda di mana akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. 
dapur dengan tungku untuk kayu bakar. menarik sekali ya. alhamdulillah, Allah SWT memberi saya kesempatan untuk berkunjung ke sini.


Mencari Jejak Leluhur Episode 3 : BUKITTINGGI

  
TAMAN JAM GADANG
BUKITTINGGI

malam sebelumnya kami mampir ke taman jam gadang ini. suaranya sangat meriah. baik di dalam taman termasuk juga lalu lintas di sekitarnya. di dalam taman banyak sekali orang orang yang menikmati waktu libur dengan duduk duduk di area taman. apalagi di malam hari, lampu jam gadang yang warna warni dinyalakan. 
sayangnya saking ramenya, sulit melihat kecantikan jam gadang yang menjadi ikon kota Bukittinggi ini. banyaknya pedagang kaki lima juga meninggalkan jejak sampah di mana mana. padahal banyak disediakan tempat sampah. sayang sekali.
 jadi kami kembali pada saat shubuh keesokan harinya. lampu jam gadang belum dimatikan. tetapi petugas kebersihan sudah hampir selesai mengerjakan tugasnya. area taman tampak bersih segar dan cantik. kami lebih leluasa menikmati pemandangan di sekitarnya juga. plus tidak ada aroma tidak sedap menguar dari toilet umum di sana.
 selain toko toko yang menjual macam macam pakaian dan kain khas Bukittinggi, banyak juga penjual makanan dan suvenir, dan pembuat jasa hena di tangan. semacam tatto sementara. berderet deret di trotoar. seandainya saja kehadiran mereka dirapikan. sehingga tidak menutupi keindahan taman dan pemadangan di seberang.
Jam Gadang adalah nama untuk menara jam yang terletak di pusat kota Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia. Menara jam ini memiliki jam dengan ukuran besar di empat sisinya sehingga dinamakan Jam Gadang, sebutan bahasa Minangkabau yang berarti "jam besar".
Selain sebagai pusat penanda kota Bukittinggi, Jam Gadang juga telah dijadikan sebagai objek wisata dengan diperluasnya taman di sekitar menara jam ini. Taman tersebut menjadi ruang interaksi masyarakat baik di hari kerja maupun di hari libur. Acara-acara yang sifatnya umum biasanya diselenggarakan di sekitar taman dekat menara jam ini.
Jam Gadang memiliki denah dasar seluas 13 x 4 meter. Bagian dalam menara jam setinggi 26 meter ini terdiri dari beberapa tingkat, dengan tingkat teratas merupakan tempat penyimpanan bandul. Bandul tersebut sempat patah hingga harus diganti akibat gempa pada tahun 2007.
Terdapat 4 jam dengan diameter masing-masing 80 cm pada Jam Gadang. Jam tersebut didatangkan langsung dari Rotterdam, Belanda melalui pelabuhan Teluk Bayur dan digerakkan secara mekanik oleh mesin yang hanya dibuat 2 unit di dunia, yaitu Jam Gadang itu sendiri dan Big Ben di London, Inggris. Mesin jam dan permukaan jam terletak pada satu tingkat di bawah tingkat paling atas. Pada bagian lonceng tertera pabrik pembuat jam yaitu Vortmann Relinghausen. Vortman adalah nama belakang pembuat jam, Benhard Vortmann, sedangkan Recklinghausen adalah nama kota di Jerman yang merupakan tempat diproduksinya mesin jam pada tahun 1892.
Jam Gadang dibangun tanpa menggunakan besi peyangga dan adukan semen. Campurannya hanya kapur, putih telur, dan pasir putih.

Jam Gadang selesai dibangun pada tahun 1926 sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada Rook Maker, sekretaris atau controleur Fort de Kock (sekarang Kota Bukittinggi) pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Arsitektur menara jam ini dirancang oleh Jazid Radjo Mangkuto, sedangkan peletakan batu pertama dilakukan oleh putra pertama Rook Maker yang pada saat itu masih berusia 6 tahun.

Pembangunan Jam Gadang menghabiskan biaya sekitar 3.000 Gulden, biaya yang tergolong fantastis untuk ukuran waktu itu. Sehingga sejak dibangun dan sejak diresmikannya, menara jam ini telah menjadi pusat perhatian setiap orang. Hal itu pula yang mengakibatkan Jam Gadang kemudian dijadikan sebagai penanda atau markah tanah dan juga titik nol Kota Bukittinggi.[1]



Sejak didirikan, menara jam ini telah mengalami tiga kali perubahan pada bentuk atapnya. Awal didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, atap pada Jam Gadang berbentuk bulat dengan patung ayam jantan menghadap ke arah timur di atasnya. Kemudian pada masa pendudukan Jepang diubah menjadi bentuk pagoda. Terakhir setelah Indonesia merdeka, atap pada Jam Gadang diubah menjadi bentuk gonjong atau atap pada rumah adat Minangkabau, Rumah Gadang.

Renovasi terakhir yang dilakukan pada Jam Gadang adalah pada tahun 2010 oleh Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) dengan dukungan pemerintah kota Bukittinggi dan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. Renovasi tersebut diresmikan tepat pada ulang tahun kota Bukittinggi yang ke-262 pada tanggal 22 Desember 2010.[2]






NGARAI SIANOK DAN LUBANG JEPANG
tidak jauh dari taman jam gadang ada Ngarai Sianok dan Lubang Jepang. karena kami datang masih pagi, suasananya sangat sejuk, bersih dan tamannya terlihat cantik. meski begitu, deg degan juga melihat ke arah ngarai. oh ya. ngarai ini sebagian terlihat juga dari jendela tempat kami sarapan di hotel. 

 gerbang menuju panorama ngarai sianok. pada malam hari pun, tempat ini masih terlihat ramai. mungkin karena waktu itu memang sedang musim libur sekolah.
 kamera handphone tidak mampu menangkap luasnya ngarai di bawah sana. yang katanya masih ada binatang buasnya. pasti menarik sekali bahasan tentang ngarai ini dari sudut pandang geologi dan apa kata BMKG terkait dengan seringnya gempa.
 bersih dan sejuk. ada beberapa spot yang cantik untuk foto, tempat bermain anak anak, ada semacam cafe, ada juga deretan kios makanan seperti food court, dan musholla.
 saya tidak tahu bagaimana keadaannya saat penuh dengan pengunjung. tetapi dilihat dari tersedianya keranjang sampah beraneka macam ini, pemerintah setempat jelas sekali memperhatikan kebersiha lingkungan. semoga masyarakatnya juga begitu. demi menjaga kelestarian dan kecantikan alam Minang yang eksotis ini.
 selain pemandangan Ngarai Sianok, dalam satu area yang sama ini terdapat gua Jepang atau Lubang Jepang. kami hanya berhenti sampai mulut gua saja dan tidak tertarik masuk. dari posternya saja terbayang seram dan gelapnya di bawah sana. huhuhu
 tentu Bukittinggi mengalami pendudukan Belanda di mana wajar di Indonesia ini, jejak jejak kolonial ada di daerah yang berada di ketinggian dan berudara sejuk. sedangkan Jepang sepertinya ada di mana mana. dan karena hanya sebentar tidak banyak bangunan yang ditinggalkan. oh ya. goa Jepang ini juga mengingatkan saya pada gua Jepang di Blitar Selatan yang konon juga panjang sampai tembus ke laut selatan pulau Jawa.


Ngarai Sianok adalah sebuah lembah curam (jurang) yang terletak di perbatasan kota Bukittinggi, di kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Lembah ini memanjang dan berkelok sebagai garis batas kota dari selatan ngarai Koto Gadang sampai ke nagari Sianok Anam Suku, dan berakhir di kecamatan Palupuh. Ngarai Sianok memiliki pemandangan yang sangat indah dan juga menjadi salah satu objek wisata andalan provinsi.
Ngarai Sianok yang dalam jurangnya sekitar 100 m ini, membentang sepanjang 15 km dengan lebar sekitar 200 m, dan merupakan bagian dari patahan yang memisahkan pulau Sumatera menjadi dua bagian memanjang (patahan Semangko). Patahan ini membentuk dinding yang curam, bahkan tegak lurus dan membentuk lembah yang hijau—hasil dari gerakan turun kulit bumi (sinklinal)—yang dialiri Batang Sianok (batang berarti sungai, dalam bahasa Minangkabau) yang airnya jernih. Di zaman kolonial Belanda, jurang ini disebut juga sebagai karbouwengat atau kerbau sanget, karena banyaknya kerbau liar yang hidup bebas di dasar ngarai ini.
Batang Sianok kini bisa diarungi dengan menggunakan kano dan kayak yang disaranai oleh suatu organisasi olahraga air "Qurays". Rute yang ditempuh adalah dari nagari Lambah sampai jorong Sitingkai nagari Palupuh selama kira-kira 3,5 jam. Di tepiannya masih banyak dijumpai tumbuhan langka seperti rafflesia dan tumbuhan obat-obatan. Fauna yang dijumpai misalnya monyet ekor panjang, siamang, simpai, rusa, babi hutan, macan tutul, dan juga tapir



Lubang Jepang Bukittinggi (juga dieja Lobang Jepang) adalah salah satu objek wisata sejarah yang ada di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia. Lubang Jepang merupakan sebuah terowongan (bunker) perlindungan yang dibangun tentara pendudukan Jepang sekitar tahun 1942 untuk kepentingan pertahanan.[1]


Sebelumnya, Lubang Jepang dibangun sebagai tempat penyimpanan perbekalan dan peralatan perang tentara Jepang, dengan panjang terowongan yang mencapai 1400 m dan berkelok-kelok serta memiliki lebar sekitar 2 meter. Sejumlah ruangan khusus terdapat di terowongan ini, di antaranya adalah ruang pengintaian, ruang penyergapan, penjara, dan gudang senjata.
Selain lokasinya yang strategis di kota yang dahulunya merupakan pusat pemerintahan Sumatera Tengah, tanah yang menjadi dinding terowongan ini merupakan jenis tanah yang jika bercampur air akan semakin kokoh. Bahkan gempa yang mengguncang Sumatera Barat tahun 2009 lalu tidak banyak merusak struktur terowongan.
Diperkirakan puluhan sampai ratusan ribu tenaga kerja paksa atau romusha dikerahkan dari pulau Jawa, Sulawesi dan Kalimantan untuk menggali terowongan ini. Pemilihan tenaga kerja dari luar daerah ini merupakan strategi kolonial Jepang untuk menjaga kerahasiaan megaproyek ini. Tenaga kerja dari Bukittinggi sendiri dikerahkan di antaranya untuk mengerjakan terowongan pertahanan di Bandung dan Pulau Biak
 Lubang Jepang mulai dikelola menjadi objek wisata sejarah pada tahun 1984, oleh pemerintah kota Bukittinggi [2]. Beberapa pintu masuk ke Lubang Jepang ini diantaranya terletak pada kawasan Ngarai Sianok, Taman Panorama, di samping Istana Bung Hatta dan di Kebun Binatang Bukittinggi



di ujung jalan ini ada fasilitas pendukung berupa taman bermain anak dan musholla.
 di saung saung itu kita bisa duduk memandang ke arah ngarai yang curam di bawah sana.
 jalan menuju Goa Jepang atau Lubang Jepang.
 sepertinya mereka ini ojek yang menunggu penumpang.

 tebing yang terlihat di kejauhan, sekilas mirip dengan tebing yang membentuk Lembah Harau. mungkin memang karena daerah ini terbentuk oleh patahan bumi yang sama.


Mencari Jejak Leluhur Episode 2 : BUKITTINGGI

setelah mengunjungi saudara jauh yang masih tinggal di Padang Panjang, yang terakhir bertemu belasan tahun yang lalu, kami melanjutkan perjalanan ke Bukittinggi. menurut tripadvisor, di sanalah banyak obyek wisata baik berupa wisata sejarah atau wisata alam. 

saya sangat merekomendasikan untuk berjalan jalan di sebagian wilayah sumatera barat ini, terutama antara Padang dan Bukittinggi, dengan menggunakan kendaraan pribadi. sebab sepanjang perjalanan, akan disuguhi pemandangan cantik yang sulit dilukiskan dengan kata kata. saya akan posting terpisah foto foto yang diambil random selama perjalanan beberapa hari di sana. 

GRAND ROCKY HOTEL BUKITTINGGI

hotel pilihan papa ini berada ditengah kota. dekat dengan taman jam gadang dan ngarai sianok. hotelnya biasa saja. sarapan juga biasa, yang menarik di hotel ini menurut saya daalah pola karpet di setiap lantai yang berbeda. motifnya bold dan berwarna cerah dengan kombinasi warna yang kuat.

 standar fasilitas di kamar. menurut saya, untuk ukuran hotel sekelas ini, tarif yang ditawarkan cukup mahal. mungkin karena saingannya sedikit. tidak banyak pilihan. ada hotel novotel tetapi tidak ada kamar kosong pada tanggal pilihan kami.
 saya sempat laundry beberapa potong baju untuk pulang. sebab sudah kehabisan baju bersih setelah berkelana di beberapa kota dalam 2 minggu. hasil setrikaannya mengecewakan sekali. rapi, cukup bersih, tetapi lipatan celananya aneh sekali. perlu mengulang beberapa kali sampai kembali kepada lipatan yang selanjutnya. untungnya celananya model bahan yang tahan banting. tidak mengkerut atau rusak atau kelunturan.


 karena udaranya dingin, meskipun badan rasanya sudah remuk redam, saya mengabaikan kolam renang. brrr ... 
jadi istirahat dengan banyak tidur dan banyak minum air putih saja.
 tidak ada masalah soal kebersihan. 
 perhatikan salahsatu pola karpet di lantai.
 satu satunya kesempatan saya untuk makan enak dan sesuai selera hanyalah saat sarapan seperti ini. tumis sayurnya segar meskipun tidak ada rasanya. tetapi bagus untuk clean eating. ahahhaha ...
 kalau mau bisa meracik salad sayuran dan buah buahan. dibanding grand zuri, masakan di sini lebih enak. ada pula lontong sayur khas padang atau khas minang mungkin ya. tapi saya hanya mencicip sedikit saja. demi kesehatan perut. masalah yang selalu terjadi kalau sedang dalam perjalanan.
 pilihan lauk pauk saat sarapan. karena waktu itu musim liburan akhir tahun, saat sarapan adalah saat yang super meriah. banyak anak anak dengan beraneka suara. 

 karena hari itu adalah hari jumat, fokus kami mencari masjid raya untuk mengikuti sholat jumat. masjid pertama yang kami datangi di malam sebelumnya, kelihatannya kurang bagus. lagipula kami suka pindah pindah masjid. dalam rangka mencari itu, kami menemukan JANJANG AMPEK PULUAH alias 40 anak tangga yang menghubungkan antara pasar atas dan pasar bawah. 

entah mengapa, meski sudah lelah, kami ikuti juga jenjang 40 tangga itu dari atas ke bawah. sebenarnya ada lebih dari 40 tangga sih. sekitar 100 anak tangga. 

 sebelum sampai mana mana, mobil di parkir di dekat oasar yang hiruk pikuk dan becek dibawah, kami ketemu kucing yang memelas ini. apakah karena orang Minang tidak suka kucing ya? sebab beberapa kali bertemu kucing, kondisinya mirip mirip begini. jelek, kurus, penyakitan, dan super curiga dengan manusia. 
 
 menurut tulisan yang dipasang di pagar rumah cantik ini, sebenarnya ini adalah musholla. musholla yang cantik. sayangnya pagarnya dikunci sehingga tidak bisa masuk apalagi numpang sholat di sini. benar benar cantik artistik.
 kelihatannya 40 anak tangga hanya dihitung dari sini. padahal ini sudah lebih setengah dari mulai kucing tadi.
 pemandangan indah di puncak tangga top 40 hahahah ...


Janjang 40 atau Janjang Ampek Puluah adalah jenjang atau leretan anak tangga yang menghubungkan Pasar Atas dengan Pasar Bawah dan Pasar Banto di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia.[1] Secara administratif, Jenjang 40 berada di Kelurahan Benteng Pasar Atas, Kecamatan Guguk Panjang.[2][3]
Sebenarnya Janjang 40 memiliki lebih dari 40 anak tangga yang terbagi dalam beberapa bagian. Jumlah anak tangga keseluruhan dari anak tangga paling bawah di trotoar Jalan Pemuda, Bukittinggi sampai ke anak tangga paling atas adalah 100 anak tangga. Namun, pada bagian teratas anak tangga yang ada berukuran lebih kecil dan curam. Angka 40 adalah jumlah anak tangga yang terdapat pada bagian paling atas ini.[3]
Janjang 40 dibangun pada tahun 1908 sewaktu Louis Constant Westenenk menjabat sebagai Asisten Residen Agam.[1] Pada waktu itu, pemerintah Hindia Belanda menghubungkan setiap pasar di Bukittinggi dengan janjang (bahasa Indonesia: jenjang atau anak tangga) untuk penataan pasar. Beberapa jenjang lainnya di antaranya Janjang Gudang, Janjang Kampuang Cino, dan jenjang di Pasa Lereng yang bersambung dengan Janjang Gantuang. Janjang Gantuang merupakan jembatan penyebrangan yang pertama di Indonesia.[4]
Keberadaan Janjang 40 turut memberikan inspirasi kepada pencipta lagu Minang Syahrul Tarun Yusuf untuk lagunya yang berjudul Andam Oi.[2]