if only you are not an indonesian ...

Monday, October 22, 2018

Mencari Jejak Leluhur Episode 3 : BUKITTINGGI

  
TAMAN JAM GADANG
BUKITTINGGI

malam sebelumnya kami mampir ke taman jam gadang ini. suaranya sangat meriah. baik di dalam taman termasuk juga lalu lintas di sekitarnya. di dalam taman banyak sekali orang orang yang menikmati waktu libur dengan duduk duduk di area taman. apalagi di malam hari, lampu jam gadang yang warna warni dinyalakan. 
sayangnya saking ramenya, sulit melihat kecantikan jam gadang yang menjadi ikon kota Bukittinggi ini. banyaknya pedagang kaki lima juga meninggalkan jejak sampah di mana mana. padahal banyak disediakan tempat sampah. sayang sekali.
 jadi kami kembali pada saat shubuh keesokan harinya. lampu jam gadang belum dimatikan. tetapi petugas kebersihan sudah hampir selesai mengerjakan tugasnya. area taman tampak bersih segar dan cantik. kami lebih leluasa menikmati pemandangan di sekitarnya juga. plus tidak ada aroma tidak sedap menguar dari toilet umum di sana.
 selain toko toko yang menjual macam macam pakaian dan kain khas Bukittinggi, banyak juga penjual makanan dan suvenir, dan pembuat jasa hena di tangan. semacam tatto sementara. berderet deret di trotoar. seandainya saja kehadiran mereka dirapikan. sehingga tidak menutupi keindahan taman dan pemadangan di seberang.
Jam Gadang adalah nama untuk menara jam yang terletak di pusat kota Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia. Menara jam ini memiliki jam dengan ukuran besar di empat sisinya sehingga dinamakan Jam Gadang, sebutan bahasa Minangkabau yang berarti "jam besar".
Selain sebagai pusat penanda kota Bukittinggi, Jam Gadang juga telah dijadikan sebagai objek wisata dengan diperluasnya taman di sekitar menara jam ini. Taman tersebut menjadi ruang interaksi masyarakat baik di hari kerja maupun di hari libur. Acara-acara yang sifatnya umum biasanya diselenggarakan di sekitar taman dekat menara jam ini.
Jam Gadang memiliki denah dasar seluas 13 x 4 meter. Bagian dalam menara jam setinggi 26 meter ini terdiri dari beberapa tingkat, dengan tingkat teratas merupakan tempat penyimpanan bandul. Bandul tersebut sempat patah hingga harus diganti akibat gempa pada tahun 2007.
Terdapat 4 jam dengan diameter masing-masing 80 cm pada Jam Gadang. Jam tersebut didatangkan langsung dari Rotterdam, Belanda melalui pelabuhan Teluk Bayur dan digerakkan secara mekanik oleh mesin yang hanya dibuat 2 unit di dunia, yaitu Jam Gadang itu sendiri dan Big Ben di London, Inggris. Mesin jam dan permukaan jam terletak pada satu tingkat di bawah tingkat paling atas. Pada bagian lonceng tertera pabrik pembuat jam yaitu Vortmann Relinghausen. Vortman adalah nama belakang pembuat jam, Benhard Vortmann, sedangkan Recklinghausen adalah nama kota di Jerman yang merupakan tempat diproduksinya mesin jam pada tahun 1892.
Jam Gadang dibangun tanpa menggunakan besi peyangga dan adukan semen. Campurannya hanya kapur, putih telur, dan pasir putih.

Jam Gadang selesai dibangun pada tahun 1926 sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada Rook Maker, sekretaris atau controleur Fort de Kock (sekarang Kota Bukittinggi) pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Arsitektur menara jam ini dirancang oleh Jazid Radjo Mangkuto, sedangkan peletakan batu pertama dilakukan oleh putra pertama Rook Maker yang pada saat itu masih berusia 6 tahun.

Pembangunan Jam Gadang menghabiskan biaya sekitar 3.000 Gulden, biaya yang tergolong fantastis untuk ukuran waktu itu. Sehingga sejak dibangun dan sejak diresmikannya, menara jam ini telah menjadi pusat perhatian setiap orang. Hal itu pula yang mengakibatkan Jam Gadang kemudian dijadikan sebagai penanda atau markah tanah dan juga titik nol Kota Bukittinggi.[1]



Sejak didirikan, menara jam ini telah mengalami tiga kali perubahan pada bentuk atapnya. Awal didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, atap pada Jam Gadang berbentuk bulat dengan patung ayam jantan menghadap ke arah timur di atasnya. Kemudian pada masa pendudukan Jepang diubah menjadi bentuk pagoda. Terakhir setelah Indonesia merdeka, atap pada Jam Gadang diubah menjadi bentuk gonjong atau atap pada rumah adat Minangkabau, Rumah Gadang.

Renovasi terakhir yang dilakukan pada Jam Gadang adalah pada tahun 2010 oleh Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) dengan dukungan pemerintah kota Bukittinggi dan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. Renovasi tersebut diresmikan tepat pada ulang tahun kota Bukittinggi yang ke-262 pada tanggal 22 Desember 2010.[2]






NGARAI SIANOK DAN LUBANG JEPANG
tidak jauh dari taman jam gadang ada Ngarai Sianok dan Lubang Jepang. karena kami datang masih pagi, suasananya sangat sejuk, bersih dan tamannya terlihat cantik. meski begitu, deg degan juga melihat ke arah ngarai. oh ya. ngarai ini sebagian terlihat juga dari jendela tempat kami sarapan di hotel. 

 gerbang menuju panorama ngarai sianok. pada malam hari pun, tempat ini masih terlihat ramai. mungkin karena waktu itu memang sedang musim libur sekolah.
 kamera handphone tidak mampu menangkap luasnya ngarai di bawah sana. yang katanya masih ada binatang buasnya. pasti menarik sekali bahasan tentang ngarai ini dari sudut pandang geologi dan apa kata BMKG terkait dengan seringnya gempa.
 bersih dan sejuk. ada beberapa spot yang cantik untuk foto, tempat bermain anak anak, ada semacam cafe, ada juga deretan kios makanan seperti food court, dan musholla.
 saya tidak tahu bagaimana keadaannya saat penuh dengan pengunjung. tetapi dilihat dari tersedianya keranjang sampah beraneka macam ini, pemerintah setempat jelas sekali memperhatikan kebersiha lingkungan. semoga masyarakatnya juga begitu. demi menjaga kelestarian dan kecantikan alam Minang yang eksotis ini.
 selain pemandangan Ngarai Sianok, dalam satu area yang sama ini terdapat gua Jepang atau Lubang Jepang. kami hanya berhenti sampai mulut gua saja dan tidak tertarik masuk. dari posternya saja terbayang seram dan gelapnya di bawah sana. huhuhu
 tentu Bukittinggi mengalami pendudukan Belanda di mana wajar di Indonesia ini, jejak jejak kolonial ada di daerah yang berada di ketinggian dan berudara sejuk. sedangkan Jepang sepertinya ada di mana mana. dan karena hanya sebentar tidak banyak bangunan yang ditinggalkan. oh ya. goa Jepang ini juga mengingatkan saya pada gua Jepang di Blitar Selatan yang konon juga panjang sampai tembus ke laut selatan pulau Jawa.


Ngarai Sianok adalah sebuah lembah curam (jurang) yang terletak di perbatasan kota Bukittinggi, di kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Lembah ini memanjang dan berkelok sebagai garis batas kota dari selatan ngarai Koto Gadang sampai ke nagari Sianok Anam Suku, dan berakhir di kecamatan Palupuh. Ngarai Sianok memiliki pemandangan yang sangat indah dan juga menjadi salah satu objek wisata andalan provinsi.
Ngarai Sianok yang dalam jurangnya sekitar 100 m ini, membentang sepanjang 15 km dengan lebar sekitar 200 m, dan merupakan bagian dari patahan yang memisahkan pulau Sumatera menjadi dua bagian memanjang (patahan Semangko). Patahan ini membentuk dinding yang curam, bahkan tegak lurus dan membentuk lembah yang hijau—hasil dari gerakan turun kulit bumi (sinklinal)—yang dialiri Batang Sianok (batang berarti sungai, dalam bahasa Minangkabau) yang airnya jernih. Di zaman kolonial Belanda, jurang ini disebut juga sebagai karbouwengat atau kerbau sanget, karena banyaknya kerbau liar yang hidup bebas di dasar ngarai ini.
Batang Sianok kini bisa diarungi dengan menggunakan kano dan kayak yang disaranai oleh suatu organisasi olahraga air "Qurays". Rute yang ditempuh adalah dari nagari Lambah sampai jorong Sitingkai nagari Palupuh selama kira-kira 3,5 jam. Di tepiannya masih banyak dijumpai tumbuhan langka seperti rafflesia dan tumbuhan obat-obatan. Fauna yang dijumpai misalnya monyet ekor panjang, siamang, simpai, rusa, babi hutan, macan tutul, dan juga tapir



Lubang Jepang Bukittinggi (juga dieja Lobang Jepang) adalah salah satu objek wisata sejarah yang ada di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia. Lubang Jepang merupakan sebuah terowongan (bunker) perlindungan yang dibangun tentara pendudukan Jepang sekitar tahun 1942 untuk kepentingan pertahanan.[1]


Sebelumnya, Lubang Jepang dibangun sebagai tempat penyimpanan perbekalan dan peralatan perang tentara Jepang, dengan panjang terowongan yang mencapai 1400 m dan berkelok-kelok serta memiliki lebar sekitar 2 meter. Sejumlah ruangan khusus terdapat di terowongan ini, di antaranya adalah ruang pengintaian, ruang penyergapan, penjara, dan gudang senjata.
Selain lokasinya yang strategis di kota yang dahulunya merupakan pusat pemerintahan Sumatera Tengah, tanah yang menjadi dinding terowongan ini merupakan jenis tanah yang jika bercampur air akan semakin kokoh. Bahkan gempa yang mengguncang Sumatera Barat tahun 2009 lalu tidak banyak merusak struktur terowongan.
Diperkirakan puluhan sampai ratusan ribu tenaga kerja paksa atau romusha dikerahkan dari pulau Jawa, Sulawesi dan Kalimantan untuk menggali terowongan ini. Pemilihan tenaga kerja dari luar daerah ini merupakan strategi kolonial Jepang untuk menjaga kerahasiaan megaproyek ini. Tenaga kerja dari Bukittinggi sendiri dikerahkan di antaranya untuk mengerjakan terowongan pertahanan di Bandung dan Pulau Biak
 Lubang Jepang mulai dikelola menjadi objek wisata sejarah pada tahun 1984, oleh pemerintah kota Bukittinggi [2]. Beberapa pintu masuk ke Lubang Jepang ini diantaranya terletak pada kawasan Ngarai Sianok, Taman Panorama, di samping Istana Bung Hatta dan di Kebun Binatang Bukittinggi



di ujung jalan ini ada fasilitas pendukung berupa taman bermain anak dan musholla.
 di saung saung itu kita bisa duduk memandang ke arah ngarai yang curam di bawah sana.
 jalan menuju Goa Jepang atau Lubang Jepang.
 sepertinya mereka ini ojek yang menunggu penumpang.

 tebing yang terlihat di kejauhan, sekilas mirip dengan tebing yang membentuk Lembah Harau. mungkin memang karena daerah ini terbentuk oleh patahan bumi yang sama.


No comments:

Post a Comment