ini tampak depan homestay ortega. sekamar ada 2 tempat tidur cukup besar untuk menampung kami, 4 dewasa dan 1 anak. mungkin karena udara dingin, kami tidak keberatan bersesak sesak di satu ruang :D
![]() | ||||||||||||
|
![]() |
ini pemandangan yang terlihat dari ketinggian 1789 meter diatas permukaan laut. angin cukup kencang, langit yang biru jernih, dikejauhan terlihat petak petak kebun sayuran dan sekali lagi, awan yang berarak dibawah kakiku. berhenti disini setelah menjelajah kompleks candi arjuna, melihat kawah sikidang, melihat tekaga warna dan telaga pengilon, kemudian makan siang sembari menunggu yang sholat jumat, di masjid raya dieng. |
Dieng Plateau is a marshy plateau that forms the floor of a caldera complex on the Dieng Volcanic Complex near Wonosobo, Central Java, Indonesia.[1]
Referred to as "Dieng" by Indonesians, it sits at 2,000 metres
(6,600 ft) above sea level, far from major population centres. The name
"Dieng" comes from Di Hyang which means "Abode of the Gods".[2]
Part of General Sudirman's guerilla campaign during the Indonesian War of Independence took place in the area.
The Plateau is the location eight small Hindu
temples. It is unclear when they were built, estimated to range from
mid 7th century to end of 8th century AD; they are the oldest known
standing stone structures in Java.[3][4]
They are originally thought to have numbered 400 but only eight remain.
The temples are now believed to have been named after the heroes of the
Hindu epic Mahabharata.[5]
Michell claims Dieng's misty location almost 2,093 m above sea level,
its poisonous effusions and sulphur-coloured lakes make it a
particularly auspicious place for religious tribute. The temples are
small shrines built as monuments to the god-ancestors and dedicated to Shiva.[6]
The Hindu shrines are miniature cosmic mountains based on plans in
Indian religious texts, although Schoppert suggest the design motifs
have little connection to India.[7] In 2011, in a review published by Romain,[3]
the temple is now believed to be related to Dravida and Pallava style
temples of South India. The theory that poisonous effusions make it
auspicious is now disputed as volcanic activity in this area from 7th to
9th century is yet to established, and records suggest the temple was
abandoned after volcanic eruptions became common in central Java.
selain kawah kawah, di wonosobo dan banjarnegara yang berbatasan, banyak sekali aiiiirrrrrr yang mengalir jernih dan deras. ada yang menjadi sumber pembangkit listrik juga. meskipun begitu saya tidak ingin berenang disalahsatunya mengingat suhu udara yang cukup dingin bbrrr ...
rumah mungil ini terlihat cantik, asri dan unik dengan air mengalir tepat diterasnya. kuharap tidak ada balita disekitarnya. tentu berbahaya kalau tanpa pengawasan. karena banyak air, banyak juga penduduk yang memiliki kolam ikan. kutanya pemilik homestay, umumnya mereka hanya memelihara untuk dikonsumsi sendiri terutama pada hari raya tertentu.
![]() |
ini ada masjid kecil dengan kolam juga. disekitar homestay banyak sekali anak anak atau remaja yang berpakaian islami. ternyata memang di wonosobo, tidak jauh dari kampung ini, selain banyak pesantren, ada juga universitas yang khusus mempelajari al Quran. jadi teringat sebagian masa kecilku di kaki gunung kelud yang memiliki situasi yang serupa. |
ini adalah telaga menjer dilihat dari sisi jalan. kami sampai disini menjelang maghrib. lebih terasa magisnya dibanding indahnya. karena terlalu lelah menjelajah pada pagi harinya, diputuskan untuk istirahat dulu di homestay lalu sampai telaga menjer sudah tutup. untuk mencapai telaga menjer ini, perjalanannya sama ke arah dieng, tetapi sekitar pasar belok ke kiri dan perjalanan meliuk liuk tetapi kondisi jalan bagus. diiringi pipa pipa air segerbong kereta yang turun menggerakkan turbin dan selanjutnya menjadi penggerak menghasilkan listrik.
No comments:
Post a Comment